Senin, 22 April 2013

Kami Pantas Mendapatkannya

Negri ini sedang diterjang badai topan dan terombang- ambing bagaimana tidak berbagai masalah kian meneror tanpa ampun. Apakah negri ini berada dalam perkembangan? Mungkin saja iya dalam bidang lain kecuali ekonomi usaha kecil dan menengah. Yang maju hanya ekonomi perusahaan –perusahaan besar dan ternama apalagi perusahaan asing. HAK? Ya, semua orang di negri ini dijamin haknya oleh negara tetapi apakah hak untuk hidup dengan berjualan dijamin? Hak untuk memsejahterakan keluarga pedagang kecil dijamin? Terutama di ibukota negara begitu banyak pedangang kecil yang mengeluh adanya ketidakadilan karna mereka tidak di berikan pelayanan yang sama mereka kerap digusur dengan paksa. Memang mereka tak punya cukup dana untuk membangun toko apalagi perusahaan, mereka hanya menyambung hidup. Mereka tak punya tempat yang bisa diandalkan karna seringkali dihantui petugas Satuan Pramong Praja. Para pedagang kaki lima banyak yang berasal dari luar Jakarta dan mereka datang ke Jakarta hanya untuk mencari nafkah. Tempat yang strategis dan merupakan ibukota negara menjadikan Jakarta tempat yang cocok untuk berusaha. Mereka hanya menjual barang dagannya kepada setiap orang yang melintas di depannya. Memang terlihatnya mereka biasa saja namun dibalik itu mereka harus membawa keeping- keeping uang untuk mengisi perutnya dan keluarganya. Pekerjaan ini familiar dengan golongan masyarakat menengah kebawah dengan rela berjemur  di bawah teriknya matahari dikala siang dan bertahan dari dinginnya hujan dikala hujan turun. Mereka harus rela dan iklas demi menjalankan roda ekonomi keluarganya. Sebenarnya mereka tahu bahwa tempat dimana mereka menggelar lapaknya tidak dibenarkan dan mengganggu lingkungan namun apa daya uang tak mampu. Sekali lagi, karna faktor ekonomilah yang mendesak pada pedagang kaki lima bertahan mempertahankan lapaknya dan membangun kembali di tempat yang sama.
Mereka beranggapan bahwa berdagang lebih baik dari mencuri ataupun merampok.
Disisi lain pemerintah daerah ingin wilayahnya rapih dan bersih dari atribut- atribut yang mengganggu mata. Ini merupakan problema yang sangat pelik. Pemerintah terutama pemerintah daerah yang pada hakikatnya harus mensejahterakan warga yang ada di wilayahnya dibuat pusing. Pedangang kaki lima seringkali menggunakan jalur pejalan kaki ataupun pengguna kendaraan bermotor, selain itu PKL kerapkali menggunakan sungai dan saluran air terdekat untuk membuang sampah dan air cuci, sampah dan air sabun tersebut dapat merusak sungai dengan mematikan ikan dan menyebabkan eutrofikasi yang merupakan masalah lingkungan hidup yang diakibatkan limbah fosfat khususnya dalam ekosistem air tawar dengan kata lain pencemaran air yang disebabkan oleh munculnya nutrient yang berlebihan ke salam ekosistem air. Undang Undang Republik Indonesia tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada salah satu ayatnya berbunyi Bahwa pembangunan ekonomi nasional sebagaimana diamanatkan oleh Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Atas dasar itulah pemerintah daerah khususnya DKI Jakarta menurunkan Satuan Polisi Pramong Praja untuk menertibkan pedagang kaki lima dengan dalih peraturan dan perintah. Namun Satuan polisi tersebut sering bertindak sewenang- wenang. Tindakan kekerasan Satpol PP yang beringas dan melanggar hak asasi kepada warga negara. Tidak jarang juga Satpol PP bertindak seperti preman- preman dan melakukan fasisme dalam penyelenggaraan negara. Satpol PP kerapkali tidak mengindahkan hak- hak warga negara.
Disetujui atau tidak, selama ini Satpol PP diidentikan dengan kekerasan. Bentrokan antar petugas dan warga bisa dibilang sudah tidak terhitung lagi banyaknya. Tak jarang korban berjatuhan, luka- lika hingga meninggal dunia. Contohnya saja penertiban pedagang kaki lima di bantaran rel KA Semanan, Kalideres, Jakarta Barat yang dilakukan petugas Tramtib dan Banpol PP berakhir bentrok. Begitu juga yang terjadi di kawasan Terminal Koja , Tanjung Priok, Jakarta penertiban tersebut berujung bentrok dan menewaskan tiga orang. Tak kalah di Jatinegara, petugas yang datang langsung disambut dengan perang mulut oleh pedagang, meski diawali dengan perang mulut pedagang tetap pasrah dagangannya di hancurkan karna anggota petugas yang lebih banyak. Tidak adanya tempat pengganti lapak dan kurang strategisnya tempat baru dijadikan alasan mengapa pedagang kaki lima tersebut tidak mau pindah dari tempat asalnya. Mereka tidak diberi pengertian yang jelas dan bagaimana kelanjutan pekerjaan tersebut.
Pedagang kaki lima sering dilihat sebelah mata, namun dibalik itu pedagang kaki lima mampu menggerakan perekonomian masyarakat. Hal tersebut terbukti ketika negara ini mengalami krisis ekonomi pada dekade ’90-an. Pedagang kaki lima tersebut dapat bertahan dari hantaman krisis.
Pedagang kaki lima kerap dimusuhi keberadaannya oleh petugas kebersihan namun keberadaan pedagang tersebut seringkali dibutuhkan. Harga yang murah meriah dan dapat di temui di tempat tempat yang mudah di jangkau menjadi alasan masyarakat membela hak – hak pedagang kaki lima tetap eksis.  
APKLI, merupakan kepanjangan dari Assosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia yang di ketuai oleh Ali Mahsun M. Biomed bertujuan untuk pemberdayaan mereka dan penggusuran. Hukum juga kini berpihak pada pedagang kaki lima dengan adanya Peraturan Menteri Dalam Negeri No 41 Tahun 2012 yang dikeluarkan 14 Juli 2012 tentang program penataan dan pemberdayaan pedagang kaki lima. Kasus penggusuran pedagang kaki lima sejak 2011 menurun di Indonesia. Kepedulian terhadap pedagang kecil mulai terasa sejak Musyawarah Nasional (Munas) di Semarang, Jawa Tengah dimana dibuka oleh Menko Perekonomian, Mentri Koprasi, Menakentrans, serta keta DPD RI dan Gubernur Jawa Tengah.
Seiring waktu pedagang kaki lima mulai diperhatikan, diberdayakan dan diusahakan tempat yang strategis untuk tempat pengganti. Semoga pedagang kaki lima sejahtera.

Berorientasi Pada Proses Bukan Nielsen

Workshop Produksi Program TV yang Berkualitas merupakan salah satu kegiatan dalam rangkaian Indonesia Broadcasting Expo (19/4) yang bertempat di Balai Kartini dengan menghadirkan pembicara Andi Chairil (Kepala Divisi Produksi Trans7) dan Indra Yudhistira (Deputi Direktur Program dan Produksi Indosiar) dengan moderator Tina Talisa (presenter Indosiar).
            Andi Chairil mendapat kesempatan pertama untuk membawakan materi membahas program TV yang pada hakikatnya adalah sebuah product. Dengan gayanya yang khas ia memaparkan research mengenai rating serta share yang dibuat oleh Nielsen. Dalam data- data yang diberikan kepada peserta tersebut ia menjelaskan beberapa tabel yang menggambarkan program acara yang menduduki tempat teratas serta tabel masyarakat yang menjadi sampel. Genre program yang menduduki tingkat paling atas adalah series yakni sinetron kemudian disusul dengan movie. Meskipun Nielsen merupakan satu- satunya lembaga riset yang menjadi tolok ukur stasiun TV namun ia mengubah mindset tersebut. Nielsen bukan sebagai orientasi utama, melaikan proses.” Buat saya yang penting adalah sebuah proses" tuturnya. Menurutnya dalam membuat suatu program harus menekankan konten yang menperhatikan hati, norma, pemikiran, empaty, pengalaman serta estetika.
            Berbeda dengan pembicara sebelumnya, Indra Yudhistira membuka sesinya dengan memutarkan video mengenai lima hal yang dibenci oleh para broadcaster TV yakni tidak mempunyai ide, ketika ide muncul tidak ada seorangpun yang percaya, ketika orang disekitar mulai percaya diri sendiri mulai tidak yakin, terlalu banyak kompromi dan menunggu rating. Ia telah banyak membuat program TV sampai pada satu tahap kesadaran bahwa program- program yang ia buat harus mempunyai manfaat bagi banyak orang dan ia menekankan bahwa Nielsen jangan dijadikan berhala bagi insan pertelevisian.
 Helmi Yahya turut mengisi worksop dengan berbagi pengalamannya di dunia pertelevisian yakni dibuktikan dengan menciptakan 200 program TV.




Workshop Indonesia Broadcasting Expo
PRODUKSI PROGRAM TV YANG BERKUALITAS