Negri
ini sedang diterjang badai topan dan terombang- ambing bagaimana tidak berbagai
masalah kian meneror tanpa ampun. Apakah negri ini berada dalam perkembangan?
Mungkin saja iya dalam bidang lain kecuali ekonomi usaha kecil dan menengah.
Yang maju hanya ekonomi perusahaan –perusahaan besar dan ternama apalagi
perusahaan asing. HAK? Ya, semua orang di negri ini dijamin haknya oleh negara
tetapi apakah hak untuk hidup dengan berjualan dijamin? Hak untuk memsejahterakan
keluarga pedagang kecil dijamin? Terutama di ibukota negara begitu banyak
pedangang kecil yang mengeluh adanya ketidakadilan karna mereka tidak di
berikan pelayanan yang sama mereka kerap digusur dengan paksa. Memang mereka
tak punya cukup dana untuk membangun toko apalagi perusahaan, mereka hanya
menyambung hidup. Mereka tak punya tempat yang bisa diandalkan karna seringkali
dihantui petugas Satuan Pramong Praja. Para pedagang kaki lima banyak yang
berasal dari luar Jakarta dan mereka datang ke Jakarta hanya untuk mencari
nafkah. Tempat yang strategis dan merupakan ibukota negara menjadikan Jakarta
tempat yang cocok untuk berusaha. Mereka hanya menjual barang dagannya kepada
setiap orang yang melintas di depannya. Memang terlihatnya mereka biasa saja
namun dibalik itu mereka harus membawa keeping- keeping uang untuk mengisi
perutnya dan keluarganya. Pekerjaan ini familiar dengan golongan masyarakat
menengah kebawah dengan rela berjemur di
bawah teriknya matahari dikala siang dan bertahan dari dinginnya hujan dikala
hujan turun. Mereka harus rela dan iklas demi menjalankan roda ekonomi
keluarganya. Sebenarnya mereka tahu bahwa tempat dimana mereka menggelar
lapaknya tidak dibenarkan dan mengganggu lingkungan namun apa daya uang tak
mampu. Sekali lagi, karna faktor ekonomilah yang mendesak pada pedagang kaki
lima bertahan mempertahankan lapaknya dan membangun kembali di tempat yang
sama.
Mereka
beranggapan bahwa berdagang lebih baik dari mencuri ataupun merampok.
Disisi
lain pemerintah daerah ingin wilayahnya rapih dan bersih dari atribut- atribut
yang mengganggu mata. Ini merupakan problema yang sangat pelik. Pemerintah
terutama pemerintah daerah yang pada hakikatnya harus mensejahterakan warga
yang ada di wilayahnya dibuat pusing. Pedangang kaki lima seringkali menggunakan
jalur pejalan kaki ataupun pengguna kendaraan bermotor, selain itu PKL
kerapkali menggunakan sungai dan saluran air terdekat untuk membuang sampah dan
air cuci, sampah dan air sabun tersebut dapat merusak sungai dengan mematikan
ikan dan menyebabkan eutrofikasi yang merupakan masalah lingkungan hidup yang
diakibatkan limbah fosfat khususnya dalam ekosistem air tawar dengan kata lain
pencemaran air yang disebabkan oleh munculnya nutrient yang berlebihan ke salam
ekosistem air. Undang Undang Republik Indonesia tahun 2009 tentang perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup pada salah satu ayatnya berbunyi Bahwa
pembangunan ekonomi nasional sebagaimana diamanatkan oleh Undang- Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945 diselenggarakan berdasarkan prinsip
pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Atas dasar itulah
pemerintah daerah khususnya DKI Jakarta menurunkan Satuan Polisi Pramong Praja
untuk menertibkan pedagang kaki lima dengan dalih peraturan dan perintah. Namun
Satuan polisi tersebut sering bertindak sewenang- wenang. Tindakan kekerasan
Satpol PP yang beringas dan melanggar hak asasi kepada warga negara. Tidak
jarang juga Satpol PP bertindak seperti preman- preman dan melakukan fasisme
dalam penyelenggaraan negara. Satpol PP kerapkali tidak mengindahkan hak- hak
warga negara.
Disetujui
atau tidak, selama ini Satpol PP diidentikan dengan kekerasan. Bentrokan antar
petugas dan warga bisa dibilang sudah tidak terhitung lagi banyaknya. Tak
jarang korban berjatuhan, luka- lika hingga meninggal dunia. Contohnya saja
penertiban pedagang kaki lima di bantaran rel KA Semanan, Kalideres, Jakarta
Barat yang dilakukan petugas Tramtib dan Banpol PP berakhir bentrok. Begitu
juga yang terjadi di kawasan Terminal Koja , Tanjung Priok, Jakarta penertiban
tersebut berujung bentrok dan menewaskan tiga orang. Tak kalah di Jatinegara,
petugas yang datang langsung disambut dengan perang mulut oleh pedagang, meski
diawali dengan perang mulut pedagang tetap pasrah dagangannya di hancurkan
karna anggota petugas yang lebih banyak. Tidak adanya tempat pengganti lapak
dan kurang strategisnya tempat baru dijadikan alasan mengapa pedagang kaki lima
tersebut tidak mau pindah dari tempat asalnya. Mereka tidak diberi pengertian
yang jelas dan bagaimana kelanjutan pekerjaan tersebut.
Pedagang
kaki lima sering dilihat sebelah mata, namun dibalik itu pedagang kaki lima
mampu menggerakan perekonomian masyarakat. Hal tersebut terbukti ketika negara
ini mengalami krisis ekonomi pada dekade ’90-an. Pedagang kaki lima tersebut
dapat bertahan dari hantaman krisis.
Pedagang
kaki lima kerap dimusuhi keberadaannya oleh petugas kebersihan namun keberadaan
pedagang tersebut seringkali dibutuhkan. Harga yang murah meriah dan dapat di
temui di tempat tempat yang mudah di jangkau menjadi alasan masyarakat membela
hak – hak pedagang kaki lima tetap eksis.
APKLI,
merupakan kepanjangan dari Assosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia yang di
ketuai oleh Ali Mahsun M. Biomed bertujuan untuk pemberdayaan mereka dan
penggusuran. Hukum juga kini berpihak pada pedagang kaki lima dengan adanya
Peraturan Menteri Dalam Negeri No 41 Tahun 2012 yang dikeluarkan 14 Juli 2012
tentang program penataan dan pemberdayaan pedagang kaki lima. Kasus penggusuran
pedagang kaki lima sejak 2011 menurun di Indonesia. Kepedulian terhadap
pedagang kecil mulai terasa sejak Musyawarah Nasional (Munas) di Semarang, Jawa
Tengah dimana dibuka oleh Menko Perekonomian, Mentri Koprasi, Menakentrans,
serta keta DPD RI dan Gubernur Jawa Tengah.
Seiring
waktu pedagang kaki lima mulai diperhatikan, diberdayakan dan diusahakan tempat
yang strategis untuk tempat pengganti. Semoga pedagang kaki lima sejahtera.