1997, diawal tahun tidak ada yang begitu menarik
kecuali melihat indahnya siluet petang dari salah satu gedung perbelanjaan
tertinggi di Jakarta. Goresan tinta merah milik alam menjadi hal yang paling ku
tunggu setiap hari. Aku hanya anak seorang petugas penjaga palang kereta yang
tak pernah merasakan indahnya pulau Bali, megahnya gedung theater Sydney apalagi eksotisnya menara Eifel.
Aku selalu membayangkan berada di salah satu tempat indah itu saat ku berdiri
disini.
Tak ada yang spesial dari diriku, tubuh semampai aku
tak Pergamon Altar, Perang Batinunya, wajah elok aku pun tak dapatkan. Namun aku dikelilingi banyak orang yang sayang denganku. 17 tahun umurku
esok hari dan aku merayakannya dengan diriku sendiri dan Tuhan Yang Maha
Pencipta. Aku bersyukur atas itu karna aku percaya semakin aku sering besyukur
Tuhan akan selalu menambahkan berkahnya.
Di kelasku aku tak terlalu dikenal guru – guru.
Kemampuan sosialku tak pandai, matematika ku juga tidak melebihi rata-rata.
Namun apabila ada seseorang mengajakku duel cerpen aku tak akan menunggu waktu
lama untuk berkata “ya”. Dan seketika itu aku mulai mengacak kosa kataku untuk
mendapatkan perpaduan kalimat yang indah dan koherensi. Bakat ini bukan turunan
dari ayah atau ibuku. Awalnya aku hanya suka membaca novel sastra karangan Ahmad
Tohari, Pramodya Ananta Toer dan juga Nh. Dhini. Aku merasakan ada sesuatu yang
mendorongku untuk menuangkan ide-ideku pada sebuah buku kosong. Inspirasi
begitu banyak mengalir saat ku menulis diatasnya. Inilah pengisi waktu luangku
saat aku tak sibuk dengan sekolahku.
Umurku beranjak dewasa dan kini aku mulai merasakan
awal indahnya masa kuliah. Dengan umurku yang masih belia ini aku bertekat
untuk lebih mengasah kegemaranku menulis. Aku semakin rajin mengirim karyaku
kesana kemari. Sedikit demi sedikit karyaku mulai dimuat di beberapa tabloid, majalah
dan begitu juga dengan koran. Akhirnya aku mendapatkan penghasilanku sendiri.
Karna terlalu banyaknya karya yang aku kirim sampai
suatu saat aku terkejut karna mendapat pemberitahuan mengenai beasiswa yang
diperuntukan penulis ini untuk mengembangkan bakat menulisku ke Jerman. mungkin
ini sulit dipercaya tapi ini nyata, dan sampai saat ini aku belum
mempercayainya.” Bagaikan mimpi di siang bolong!” ya, itulah yang kurasakan.
Aku baru teringat ketika aku pergi tidur aku menyempatkan menulis cerita narasi
mengenai kondisi Jerman dan segera esok harinya kukirim pada Kedubes Jerman
yang saat itu mengadakan perlombaan Menulis Indah Jerman.
***
Beberapa hari di Jerman membuat ku merasa terasing,
meskipun keluarga angkatku sangat baik dan memperdulikan aku. Teman- teman ku
juga bersahabat meskipun juga aku hanya seorang auslender bagi mereka. Auslender
disini berarti orang asing berkulit warna, seperti diriku. Aku bangga dengan
ras yang aku miliki namun kadang aku merasa direndahkan bila aku tak bisa
mengikuti apa yang biasa dilakukan ditempat ini. “ Ich bin auslander und spreche nicht gud deutch!” saya warga asing
dan saya tidak pandai bahasa Jerman, aku sering mengucapkannya agar orang di
sekelilingku dapat membantuku untuk lebih menata bahasaku yang masih tidak
karuan letaknya. Saat disini aku merasakan nilai- nilaiku lebih baik dari
sebelumnya. Konsentrasiku lebih meningkat mungkin karna aku lebih berusaha
memahami dan mencoba untuk mengetahui maksud dari bahasa yang berbeda ini.
Setelah aku merasa nyaman di tempat asing ini, aku
mulai menulis surat
untuk ayah dan adikku. Bercerita tentang keindahan kota yang aku tempati saat
ini berharap hati ayahku akan senang membacanya, dan menyemangati adikku untuk
lebih semangat dalam meraih cita- citanya. Aku anak sulung, itu membuatku
bertanggung jawab atas pendidikan adikku yang masih duduk dikelas 3 SD karna
ayahku yang mulai terserang penyakit akibat faktor usia.
Kudam,
Kurfurrstendamm. Aku selalu
mengunjungi tempat ini saat aku mulai resah dan teringat ayahku yang tinggal
hanya bersama adikku dijauh tempat sana.
Di tempat ini aku bisa bertemu berbagai macam corak manusia, dari perbedaan
kulit, perbadaan bangsa dan bahasa. Banyak penjual pinggir jalan menghiasi ramainya
Kudamm ini di setiap waktu.
Merasa semakin
kesepian aku terus berjalan menyusuri jalan. Sesampai diujung jalan aku bertemu
seseorang yang pernah aku kenal sebelumnya. Ya! Dia tetanggaku di Indonesia.
Waktu pun mulai larut dan tak terasa aku sudah lama berbincang bincang
dengannya. Umurnya hanya berbeda 2 tahun diatasku sehingga tak terlalu canggung
bicara dengannya. Saat itu aku mengetahui maksud dan tujuannya berada disini.
Melanjutkan pendidikannya. Kami pun berencana mengunjungi Pegamon Altar esok
hari setelah kuliahku selesai berdua saja dengannya. Keakraban terjadi begitu
saja tanpa ada skenario dan aku sangat menikmatinya. Di Pegamon Altar kami begitu
tertarik saat disuguhkan banyak benda – benda bersejarah di Jerman.
Semakin hari bertambah, semakin dekat juga hubungan
kami berdua. Kami lebih sering menghabiskan waktu bersama dan bercerita dengan
lepasnya. Aku merasa ada sesuatu antara aku dan dia lebih dari sekedar teman.
Dan hal ini benar terjadi. Dia menyukaiku lebih dari seorang teman bercerita.
Sepulang dari Pergamon
Altar ia mengajakku ke suatu tempat yang belum pernah ku datangi
sebelumnya. Tempatnya indah persis di tengah kota. Kilatan lampu jalan saling beradu
hentakan kaki pedestrian. Menambah elok suasana tenang namun ramai. Aku terus
berjalan dengannya sampai tempat yang belum ditentukan. Hingga pada sebuah
gedung dia mengajakku masuk. Sangat sepi sekali. Aku menduga ini tempat
tinggalnya karna di setip pojok berhiaskan fotonya bersama teman dan
keluarganya. Aku merasa sudah sangat dekat dengannya sampai aku masuk begitu
saja ke dalam kamarnya dan melakukan hal yang tidak bernorna bersamanya di
negara asing yang baru beberapa bulan aku kenal. Hal ini terjadi begitu saja.
Beberapa bulan berlalu. Aku bertahap melupakan
kejadian malam itu namun takdir berkata lain aku terus teringat disetiap waktu
luangku. Dan aku merasakan ada hal berbeda di tubuhku. Aku merasa ada sesuatu
yang baru dalam perutku. Mual, ya mual, aku merasakannya lebih hebat dari
sebelumnya. Aku rasa ada seseorang dalam perutku ini. Akhirnya aku bergegas
membeli alat pendeteksi kehamilan dan hasilnya positif hamil. “Tuhan, aku tak
tau apa yang harus aku lakukan” pertanyaan itu selalu berputar di kepalaku.
Cuaca di luar apartemen mendadak berubah menjadi mendung dan berkabut. Siang
ini tampak risau, angin pun seperti ikut bertanya padaku.
Aku ceritakan kejadian ini pada fran, teman kencankuitu. Tanpa basi basi iya menyuruhku untuk menghilangkan janin di rahimku ini.Dan aku sangat tidak ingin membunuh penghuni perutku ini. Batinkupun mulai bergejolak, disatu sisi aku tidak inginmenghancurkan masa depanku dengan mengurus anak secepat ini namun aku tak biasmembunuhnya. Dengan hati berat akhirnya aku mengabulkan apa yang dikatakanteman kencanku itu. Malam itu juga aku membunuh janin dalam rahimku sendiri. Dikamar mandi apartemenku sendiri. Aku lemas. Aku pucat. Aku tak berdaya.Tergelatak begitu saja dalam hitungan jam. Aku sendiri. Aku sunyi.Pergamon Altar, Perang Batin
Pagi hari aku terbangun. Aku sadar aku belum ditakdirkan
untuk mati bersama janinku malam itu. Saat itu aku mulai menyesal dan lebih
menghargai hidup. Aku mulai bangkit namun tidak ada seorangpun mendukung
disampingku saat ini, benakku rapuh tapi aku dengan segera menyemangati diriku
sendiri.
Kini aku focus dengan kegiatan kesukaanku beberapa
bulan lalu. Aku mulai rajin menulis novel – novel beraliran realistis,
naturalisme dan juga neonaturalisme. Aku
lebih menggemari kegiatanku ini sampai aku menjadi orang yang tegar. Sebagian
karya- karyaku menjadi best seller di seluruh dunia. Hasil royaltinya pun aku
kirim pada ayah dan adikku tercinta.
Timbul rasa rinduku dengan ayahku dan adikku membuat
aku mengambil keputusan untuk kembali ke tanah airku tercinta.